Beranda | Artikel
Sifat Dermawan
Selasa, 3 Agustus 2021

SIFAT DERMAWAN

إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكُرَمَاءَ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah menyukai orang-orang yang pemurah”.

Di antara sifat karam dan berkorban ada ikatan yang kokoh dan hubungan yang kuat. Mujahid (pejuang) memberikan jiwanya –dan ini adalah puncak sifat pemurah- dan orang yang membebaskan diri dari syahwat harta, mengulurkan tangannya di pintu-pintu kebaikan, terkadang lebih mampu berjihad karena sifat karam (pemurah) menanamkan di dalam jiwanya pengertian berkorban dan mengutamakan orang lain.

Dan karena sifat pemurah memiliki ruang lingkup yang disyari’atkan, maka sesungguhnya memberikan harta di jalur yang lain terkadang tidak termasuk sifat karam, karena itulah Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Jud di dalam syara’ adalah memberikan yang mesti diberikan kepada orang yang mesti diberikan, dan ia lebih umum dari pada sedakah.’[1] Dan anonimnya adalah syuhh (kikir, pelit) yang berarti bakhil ditambah sifat rakus.

Orang yang pemurah pasti memiliki tawakal yang kuat, zuhud yang mantap, serta keyakinan yang kokoh. Karena itulah sesungguhnya sifat karam terkait dengan iman, secara lahir adalah tangan yang mulia dan pendorongnya adalah jiwa yang pemurah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan seorang mukmin dengan sabdanya:

اَلْمُؤْمِنُ غرٌُّ كَرِيْمٌ وَالْفَاسِقُ خَبٌّ لَئِيْمٌ

“Seorang mukmin adalah orang yang mulia lagi pemurah dan orang fasik adalah penipu yang tercela.”[2]

Dan dalam hadits yang lain:

وَلاَيَجْتَمِعُ الشٌّحُّ وَاْلإِيْمَانُ فِى قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

Tidak pernah berkumpul sifat bakhil dan iman di hati seorang hamba.”[3]

Gambaran karam yang paling agung adalah yang disertai fakir dan kebutuhan serta sedikitnya yang ada di tangan. Ini adalah akhlak bangsa arab di masa jahiliyah dan orang yang beriman lebih utama dengannya.

Diriwayatkan bahwa Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu selain yang dimasukkan kepada Zubair Radhiyallahu anhu, apakah aku memberikan? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَعَمْ, لاَ تُوْكِي فَيُوْكَى عَلَيْكَ

Ya, janganlah engkau menyimpan maka terputuslah sumber rizqi darimu.”[4]

Sekalipun sumber pemasukannya sangat sedikit, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan kepadanya agar tetap memberi dan tidak menghitung supaya diberi berkah dalam rizqi dan untuk tambahan  tawakal.

Pada suatu hari, sepotong daging dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tahukah kamu dari siapakah ia? Ia berasal dari Barirah yang fakir dan dari sedakah yang diberikan kepadanya.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَحْمٍ قَالَ مَا هَذَا قَالُوا شَيْءٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ فَقَالَ هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi daging, beliau mengatakan; ‘Apakah ini? Mereka menjawab, ‘Sesuatu yang disedakahkan kepada Barirah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia (daging) adalah sedekah baginya dan hadiah untuk kita.’[5]

Sungguh salah seorang dari mereka tidak memiliki apa-apa selain makanan untuk satu hari dan dia seorang yang pemurah.

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ جُهْدُ الْمُقِلِّ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: ‘Sedekah apakah yang paling utama? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kadar yang mampu ditanggung orang fakir, dan mulailah dari orang yang engkau tanggung.”[6]

Sesungguhnya agama kita dengan tujuannya yang agung membutuhkan jiwa pemurah yang kebaikannya melimpah kepada kerabatnya dan tercurahkan pada persiapan dan jihad:

أَفْضَلُ دِيْنَار:ٍ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِى سَبِيْلِ اللهِ

Dinar (uang, harta) yang paling utama adalah yang diinfakkan seseorang untuk keluarganya, dinar yang diinfakkan untuk tunggangannya fi sabilillah (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan dinar yang diinfakkan seseorang untuk para sahabatnya fi sabilillah (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala).[7]

Terkadang datang angin sifat pemurah dari orang yang sudah kehilangan harapan terhadap dunia saat kematian sudah mendekatinya. Akan tetapi pemurah yang hakiki adalah untuk orang yang mempunyai kekuatan badan, panjang cita-cita,  dan pendorong sifat tamak meliputinya dari segala penjuru. Karena itulah, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Sedakah apakah yang paling besar pahalanya? Beliau bersabda:

أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَ الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى

Bahwa engkau bersedakah, sedangkan engkau dalam kondisi sehat, pelit (terhadap harta), takut miskin, dan mengharapkan kaya…’[8]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Tatkala mujahadah jiwa untuk mengeluarkan harta serta adanya penghalang pelit/kikir menunjukkan benarnya tujuan dan kuatnya keinginan dalam ibadah, ia menjadi lebih utama dari yang lainnya. Dan bukanlah tujuannya bahwa sifat kikir itu merupakan sebab keutamaan ini.[9]

Di antara sifat istimewa bagi orang yang tertanam padanya sifat karam, bahwa ia tidak menolak seseorang yang meminta kepadanya. Inilah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Tidak pernah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta …tentang sesuatu lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak.’[10]

Sehingga ketika beliau diberi hadiah burdah (pakaian) yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkannya, seorang sahabat melihatnya dan berkata.

يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْسُنِيهَا. فَقَالَ: «نَعَمْ». فَجَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَجْلِسِ، ثُمَّ رَجَعَ، فَطَوَاهَا ثُمَّ أَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ القَوْمُ: مَا أَحْسَنْتَ، سَأَلْتَهَا إِيَّاهُ، لَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ سَائِلًا، فَقَالَ الرَّجُلُ: وَاللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِتَكُونَ كَفَنِي يَوْمَ أَمُوتُ، قَالَ سَهْلٌ: فَكَانَتْ كَفَنَهُ

Wahai Rasulullah, alangkah bagusnya (pakaian) ini maka berikanlah kepadaku.’ Beliau bersabda, ‘Ya.’ Maka para sahabat mencelanya seraya berkata: ‘Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya karena membutuhkannya, kemudian engkau memintanya, dan engkau sudah mengetahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diminta sesuatu lalu menolaknya.’ Ia menjawab, ‘Aku mengharapkan berkahnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakainya, semoga aku dikafani padanya.”[11]

Karam termasuk sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدّهُمَا صِفْرًا (أَوْ قَالَ خَائِبَيْنِ)

‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Hidup lagi Maha Pemurah, merasa malu kepada hamba-Nya bahwa ia mengangkat dua tangannya kepada-Nya lalu ia mengembalikannya kosong.’ (atau dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘merugi).[12]

Dan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih dihalangi rasa malu dan pemurah untuk menolak kebutuhan hamba.

Di antara kewajiban sifat karam adalah melayani orang yang mulia/pemurah sebagaimana layaknya, seperti dalam hadits:

إِذَا أَتَاكُمْ كَرِيْمُ قَوْمٍ فَأَكْرِمُوْهُمْ

Apabila datang kepadamu orang yang pemurah/mulia dari suatu kaum maka muliakanlah dia.’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk menjamu tamu –sebagai bukti nyata sifat karam– dengan menggerakkan perasaan keimanan:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir maka muliakanlah tamu.”[13]

Dan siapa yang materi sudah menguasai jiwa dan hatinya, ia menjadikannya menghitung dan menghalanginya dari sifat karam untuk membiarkan yang ada di saku, maka tidak kebaikan padanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَيَضِبْفُ

Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak memberikan jamuan.[14]

Secara fitrah, manusia tidak menyukai orang yang pelit, dan apabila tidak terwujud rasa cinta niscaya tidak terbuka hati untuk  menerima. Diriwayatkan dalam pengertian ini:

السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنْ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنْ الْجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنْ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنْ النَّارِ وَالْبَخِيلُ بَعِيدٌ مِنْ اللَّهِ بَعِيدٌ مِنْ الْجَنَّةِ بَعِيدٌ مِنْ النَّاسِ قَرِيبٌ مِنْ النَّارِ وَلَجَاهِلٌ سَخِيٌّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ عَالِمٍ بَخِيلٍ

‘Orang yang pemurah dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, jauh dari neraka, dan orang yang kikir/pelit jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang pemurah lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pada ‘abid (ahli ibadah) yang pelit.[15]

Di antara yang menolong seseorang untuk memperoleh sifat karam dan menanamkannya di dalam jiwanya bahwa ia menghadirkan sifat Rabb-nya I:

إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ وَيُحِبُّ مَعَالِى اْلأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah menyukai sifat pemurah dan menyukai akhlak yang tinggi serta membenci akhlak yang rendah.”[16]

Siapakah yang tidak ingin menjadi seperti yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Sesungguhnya dalam merenungkan kehidupan sehari-hari rasul panutan Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mencerahkan pengertian jud dan karam di hati pengikut yang mencintai. Disebutkan dalam hadits:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَحْسَنَ النَّاسِ وَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَشْجَعَ النَّاسِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling baik, paling pemurah, lagi paling berani.”[17]

Sifat pemurah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi penyebab beriman dan cintanya kebanyakan orang, dan penghormatan musuh dan teman. Tidak adalah bagi para pemikul dakwah kecuali bahwa dunia lebih hina dalam pandangan mata mereka agar melimpah dengannya tangan mereka dan merata kebaikan dari sekeliling mereka.

Syetan punya peran besar di hati orang yang pelit lagi kikir. Karena itulah disyari’atkan kepada kita agar berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat syetan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung setiap kali setelah shalat:

اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ

Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari sifat bakhil, aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut…”[18]

Apabila umat telah kehilangan sifat pemurah dengan harta dan jiwa niscaya ia telah berjalan menuju kebinasaan, berdasarkan yang disebutkan dalam hadits:

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ: أَمَرَهُمْ بِاْلبُخْلِ فَبَخلوُاْ وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيْعَةِ فَقَطَعُوْا وَأَمَرَهُمْ باِلْفُجُوْرِ فَفَجَرُوْا

Jauhilah sifat kikir, sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kamu dengan sifat kikir: ia (sifat kikir) menyuruh mereka bersifat kikir maka mereka kikir dan menyuruh mereka memutuskan silaturrahim maka mereka memutuskan silaturrahim serta menyuruh mereka berbuat fasik maka mereka berbuat fasik.”[19]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan diantara sifat seburuk-buruk manusia di akhir zaman, dan di antara sifat mereka adalah kikir:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ وَيلْقَى الشُّحّ وَيَكْثُرُالْهَرَجُ

Zaman semakin mendekat, berkurang amal, dicampakkan sifat pelit dan banyak peperangan…”[20]

Karena karam adalah sifat hati yang tercermin dalam perilaku, sesungguhnya orang yang sakit dengan sifat kikir adalah orang yang ada penyakit di hati, sifat pelitnya membuat dia duduk dari membangun, membuat dia mengambil dan tidak memberi, adakah keburukan setelah itu? Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ

Seburuk-buruk yang ada pada laki-laki adalah pelit yang sangat dan penakut yang berlebihan.”[21]

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هِيَ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالشُّحُّ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, ” dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah perkara yang membinasakan itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa hal yang membinasakan, di antaranya: ‘Menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kikir, …’[22]

Generasi pertama memiliki karakteristik dengan sifat zuhud dan keyakinan lalu naik. Maka apakah sunnah kejatuhan itu?

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلاَحُ اَوَّلِ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ بِالزُّهْدِ وَالْيَقِيْنِ وَيَهْلِكُ اٰخِرُهَا بِالْبُخْلِ وَاْلأَمَلِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Baiknya generasi pertama umat ini dengan sifat zuhud dan keyakinan dan binasa generasi terakhirnya dengan sifat kikir dan angan-angan.”[23]

Menahan tangan dan tidak memberi, kemudian setelah semua itu membangun mimpi besar dan angan-angan yang memanjang, itulah kebinasaan di dunia, apakah kita sudah menjadi seperti itu?

Adapun di akhirat, maka sesungguhnya orang yang menyimpan harta tanpa menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, digambarkan harta itu baginya di hari kiamat  seperti:

وَيَكُونُ كَنْزُ أَحَدِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ يَفِرُّ مِنْهُ صَاحِبُهُ وَيَطْلُبُهُ أَنَا كَنْزُكَ

Ular yang berkepala putih (karena banyak racunnya), pemiliknya lari darinya dan ular itu menuntutnya; ‘Akulah harta simpananmu’ yang kamu pelit dengannya…’[24]

Ringkasan:

  1. Pengikat di antara sifat karam dan berkurban.
  2. Ikatan sifar karam dengan iman.
  3. Di antara karam terbesar adalah pemurahnya orang yang fakir dan yang tidak punya.
  4. Jihad tidak terjadi kecuali dengan sifat karam.
  5. Karam yang sesungguhnya adalah diserta adanya dorongan sifat tama’.
  6. Orang yang karim tidak menolak orang yang meminta.
  7. Orang yang pelit tidak ada kebaikan padanya.
  8. Di antara sifat Rabb kita adalah sesungguhnya Dia I Maha Pemurah.
  9. Di antara kewajiban sifat karam adalah memuliakan orang-orang yang pemurah.
  10. Sifat karam menghinakan harta dan menjaga kehormatan.
  11. Orang yang mulia dekat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia.
  12. Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang-orang yang pemurah.
  13. Panutan harus orang yang pemurah.
  14. Pelit adalah penyakit hati.
  15. Pelit termasuk yang membinasakan di dunia dan akhirat

[Disalin dari صفة الكرم Penulis Mahmud Muhammad al-Khazandar, Penerjemah : Muhammad Iqbal Ghazali Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] Fath al-Bari 1/31, dari syarh bab ke lima dari kitab wahyu.
[2] Shaih Sunan at-Tirmidzi, bab-bab kebaikan, bab ke 41, hadits no. 1599/2047 (hasan)
[3] Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab jihad, bab ke 8, hadits no. 2913 (shahih)
[4] Shahih Sunan Tirmidzi, bab kebaikan, ba ke 40, hadits no. 1598/2043 (Shahih).
[5] Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, ba ke 31, hadits no. 1498/1655 (Shahih).
[6] Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke 41, hadits no. 1471/1677 (Shahih).
[7] Shahih Sunan at-Tirmidzi, bab kebaikan, bab ke 42, hadits no. 1601/2049
[8] Shahih al-Bukhari, kitab zakat, bab ke 11.
[9] Fath al-Bari 3/285.
[10] Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 39, hadits no. 6034.
[11]  Referensi terdahulu
[12] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab doa, bab ke 13, hadits no 3117/3865.
[13]  Shahih Sunan at-Tirmidzi, pintu-pintu kebaikan, bab ke 43, hadits no.1602/2050 (Shahih.
[14] Shahih al-Jami’ hadits no. 7492, juga dalam Musnad Ahmad 4/155.
[15]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Al-Manawi berkata: diriwayatkan dengan beberapa sanad yang lemah, saling menguatkan satu dengan yang lain. Al-Arna`uth berkata: Makna hadits shahih (Jami’ul Ushul 5/3, hadits no. 2979)
[16]  Shahihul Jami’, hadits no. 1744 (Hadits).
[17] Shahih al-Bukhari, kitab Adab, bab ke 39, hadits no. 6033.
[18]  Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab isti’azhah, bab ke 27, hadits 5059 (Shahih).
[19]  Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke 47, hadits no. 1489/1698 (Shahih).
[20]  Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 39, hadits no. 6037.
[21] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab jihad, bab ke 22, hadits no. 2192/2511 (Shahih).
[22]  Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab wasiat, bab ke 12, hadits no. 3432 (Shahih).
[23]  Shahihul Jami’, hadits no. 3845 (hasan).
[24] Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab zakat, bab ke 9, hadits no. 2303 (Shahih).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/36428-sifat-dermawan.html